Pondasi tarbiyyah yang amat penting adalah hendaknya seorang da`i bersungguh-sungguh dalam tarbiyyah, dengan cara menguatkan hubungannya dengan Allah Subhanahu Wata'ala. Hendaknya kekokohan hubungan tersebutpun dijalin dengan manhaj-Nya, bukan bergantung kepada manusia, karena manusia sangat dipastikan dapat berubah. Sedangkan Allah Subhanahu Wata'ala adalah Dzat Yang Maha Hidup, tidak akan mati ataupun berubah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata'ala:
“Semua yang ada di langit dan di bumi selalu minta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan” [QS. ar-Rahmān (55): 29]
Sesungguhnya masalah ketergantungan kepada figuritas memiliki sisi negatif, di antaranya: Seseorang dapat berubah dikarenakan perubahan sosok figurnya. Oleh karena itu al Qur’an datang untuk mengikrarkan hakekat utama tersebut; yaitu hakikat bergantung atau berpegang kepada manhaj dan membuang bergantung kepada figuritas, walaupun mereka seorang rasul. Di dalam surat Ali ‘Imran yang menceritakan perang Uhud, Allah Subhanahu Wata'ala berfirman:
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya be-berapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kalian berbalik ke belakang (murtad) Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” [QS. Āli ‘Imrān (3): 144]
Sesungguhnya dakwah lebih utama dari pada sosok seorang da’i, sebagaimana al Qur’an telah membina para shahabat dan umat ini untuk senantiasa berpegang pada manhaj serta membenci figuritas. Inilah manhaj Rosululloh Salallahu Alaihi Wasalam, dan manhaj seluruh orang yang menyeru kepada Allah di atas bashirah (ilmu).
Beberapa Contoh Nyata:
1. Dari ‘Irbadh bin Sariyah rda, ia berkata:
“Rasulullah menasehati kami dengan sebuah nasehat yang menggetarkan hati dan mencucurkan air mata, maka kami berkata:
“Ya Rasulullah seolah-seolah ini adalah nasehat terakhir (yang engkau tinggalkan), maka beri-lah kami wasiat!”, maka beliau bersabda:
“Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, serta untuk mendengar dan taat walaupun yang memerintahkan kalian seorang budak. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku, niscaya ia akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para al-khulafa ar-rasyidin yang diberi petunjuk, gigitlah hal tersebut dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah adalah sesat”
2. Dari Jabir rda, bahwa Rasulullah Salallahu Alaihi Wasalam bersabda:
“Hendaknya kalian mengambil manasik haji dariku, karena aku tidak tahu barangkali aku tidak berhaji lagi setelah tahun ini…”
Rasulullah Salallahu Alaihi Wasalam mewasiatkan mereka untuk berpegang teguh dengan sunnahnya dan mengikuti petunjuknya, yaitu agama yang disampaikan dari Allah Subhanahu Wata'ala. Beliau mengikat para shahabat dengan manhaj Allah Subhanahu Wata'ala, bukan dengan figuritas, walaupun beliau masih hidup di tengah-tengah mereka.
Dahulu para shahabat saling membimbing satu dengan yang lainnya. Hal itu bukan sesuatu yang aneh, karena Rasulullah Salallahu Alaihi Wasalam telah mentarbiyyah mereka untuk saling meng-ingatkan satu dengan yang lainnya, tentang hakikat bergantung kepada manhaj dan dengan membuang figuritas.
Di saat muncul kecenderungan dan simpati terhadap figuritas tertentu, di saat itu pula jiwa menjadi lemah dan menurun. Hal itu nampak dalam contoh berikut:
1. Ibnu Abi Najih, dari bapaknya, ia berkata:
“Bahwa ada seorang laki-laki dari golongan Muhajirin lewat di hadapan seseorang dari golongan Anshar, dalam keadaan berlumuran darah, maka ia berkata kepadanya: “Wahai fulan, apakah kamu merasa bahwa Rasulullah telah terbunuh? Dan hal ini terjadi pada saat perang Uhud, maka orang Anshar tadi berkata:
“Apabila Muhammad terbunuh, sungguh ia telah menyampaikan risalah-Nya. Maka berperanglah dengan agama kalian”.
2. Ketika perang Uhud, semua orang lari cerai-berai, namun Anas bin Nadhar rda tidak ikut lari, hingga terdengar di telinga ‘Umar bin Khaththab RadhiallahuAnhu dan Thalhah bin Ubaydillah rda bahwa para pahlawan dari golongan Muhajirin dan Anshar pun telah membuang senjata-senjata mereka, maka Anas bin Nadhar berkata:
“Apa yang membuat kalian duduk?, mereka berkata: “Rasulullah telah terbunuh”.
Kemudian beliau berkata:
“Apa yang akan kalian perbuat dalam kehidupan sepeninggalnya? Bangkitlah kalian dan matilah kalian di atas kematian yang telah membuat wafat Rasulullah”.
Kemudian beliau terjun bertempur menghadapi kaum musyrikin, seraya menghampiri Sa’ad bin Mu’adz dan berkata:
“Wahai Sa’ad, oh... harumnya bau surga, sungguh aku telah mendapatkannya di Uhud”
Kemudian beliau bertempur hingga terbunuh, dan ditemukan dalam tubuhnya lebih dari 72 tusukan pedang sehingga tidak ada seorangpun yang dapat mengenalinya, kecuali saudara perempuannya.
Sesungguhnya kewajiban seorang murabbi atau seseorang yang dijadikan panutan adalah agar ia mendidik pengikutnya untuk senantiasa bergantung kepada Allah Subhanahu Wata'ala dan menghilangkan ketergantungan pada figuritas.
Gambaran Keterkaitan Terhadap Figuritas
1. Meninggalkan kesungguhan ketika sang DAI pergi, dipenjara atau wafat.
2. Meninggalkan amal shalih karena sang DAI jauh darinya.
3. Tidak sabar ketika berpisah dengan sang DAI.
4. Menerima semua pendapat SANG DAI, padahal pendapatnya tidak sebanding dengan pendapat-pendapat ulama yang menjadi rujukan ummat.
5. Menganggap remeh berbagai kesalahan dengan alasan karena DAInyapun mengerjakannya.
6. Mengagungkan, memuji serta menyanjung SANG DAI hingga sangat berlebihan.
7. Justifikasi berbagai macam kesalahan DAI, dan tidak menerima pendapat bahwa DAI pun bisa salah, justru menganggap DAI sebagai orang yang selalu benar.
8. Tidak mau berdiskusi dengan DAI dalam beberapa permasalahan tarbiyah yang belum dipahami, dengan alasan takut DAInya marah apabila ia mendebatnya.
9. Tidak adanya kejelasan dalam segala urusannya, dengan alasan mungkin DAInya telah merubah pandangannya.
10. Menyembunyikan sebagian perbuatan dan perkara jelek yang tidak seharusnya, termasuk perbuatan maksiat, dengan alasan bahwa DAInya bisa marah kepadanya, sehingga akan berubah pandangan terhadapnya.
11. Ketaatan membabi buta terhadap DAI hingga terhadap kesalahan-kesalahannya.
12. Membela DAI dari serangan orang lain, hingga terhadap kesalahannya sekalipun.
13. Lebih mengutamakan kemaslahatan duniawi DAI, dibandingkan kemashlahatan orang tua dan keluarganya.
14. Taqlid terhadap sifat-sifat buruk DAI.
15. Berbenturan dengan realitas DAI, apabila muncul kesalahan darinya hingga mengakibatkan kemunduran dalam sisi keagamaan.
Maka seorang pencari ilmu menjadikan ketergelinciran DAI sebagai alasan untuk menjauhi kebenaran.
Imam Sufyan bin ‘Uyaynah mensifati mereka yang menjadikan ketergelinciran DAInya sebagai alasan untuk menjauhi kebenaran sebagai sifat al-hamaqah (kedunguan atau ketololan). Kemudian ada salah seorang yang melirik kepadanya, dengan kasar dan keras ia bertanya kepadanya:
“Sesungguhnya ada sekelompok kaum yang mendatangimu dari berbagai penjuru, kemudian apabila engkau memarahi mereka, maka aku khawatir mereka akan pergi meninggalkanmu”, maka beliau membalas dengan berkata:
“Mereka adalah orang-orang dungu sepertimu, mereka meninggalkan hal yang bermanfaat bagi mereka dikarenakan keburukan akhlakku”
Kemudian Sufyan memberikan sebuah pemahaman kepada penanya dengan sebuah kaidah, yaitu:
“Bergantunglah kepada kebenaran dan tinggalkanlah ketergantungan kepada figuritas”
Dengan demikian, seorang DAI atau publik figure, bukanlah merupakan perwujudan sebuah kebenaran ataupun dakwah, artinya; ketika kita menemukan aib atau kesalahan pada diri seorang DAI pastilah berbeda dengan menemukan kesalahan atau khilaf dalam sebuah kebenaran.
Sebab Kronisnya Penyakit Figuritas
Intinya adalah karena adanya sifat-sifat kemanusiaan seseorang, di antaranya adalah:
1. Munculnya daya tarik seorang DAI (kefasihan berbicara, pandai, cerdik, dan lain-lain).
2. Banyaknya pertemuan tanpa target yang jelas dan dibangun hanya atas dasar kesamaan tabiat.
3. Kehilangan sosok figur semenjak beranjak dewasa.
4. Tidak diikatnya peserta didik dengan teladan ma`shumnya yaitu Rasulullah Salallahu Alaihi Wasalam.
5. Tidak diikatnya peserta didik untuk memelihara hubungan dengan Allah dan bergantung hanya kepada agana-Nya.
6. Mengutamakan emosional atau sensitifitas dalam bermuamalah dengan DAI, dan menjadikan hal ini sebagai hukum.
7. Tidak adanya perhatian terhadap sebagian kaidah-kaidah dakwah dan tarbiyyah (perbedaan cinta kepada Allah Subhanahu Wata'ala dengan cinta kepada individu, dan antara cinta di jalan Allah Subhanahu Wata'ala dengan cinta bersama Allah Subhanahu Wata'ala).
8. Tidak ada peringatan kepada para peserta didik tentang bahaya figuritas.
9. Menunda-nunda dalam memberikan peringatan tentang bahaya figuritas dengan alasan untuk menarik perhatian peserta didik dan agar mereka tidak lari ketika mereka baru meniti dakwah.
10. Tidak adanya perhatian DAI terhadap masalah ini, bahkan menganggapnya sebagai hal sepele.
11. Tidak adanya kejujuran dari tiap individu yang terfitnah masalah ini.
12. Bisikan syetan kepada para DAI dengan menganggap dirinya sebagai orang publik figur yang penting.
13. Adanya kesalahan dalam menilai seorang individu.
14. Mengabaikan sisi tarbiyyah dzatiyyah (jati diri), atau lebih mengutamakan tarbiyyah kolektif daripada tarbiyyah fardiyyah.
Dampak Negatif Penyakit Figuritas
1. Meninggalkan kesungguhan secara total setelah DAI pergi, dipenjara ataupun wafat.
2. Meninggalkan amal shalih karena jauhnya DAI.
3. Terjerumus dalam kultus individu.
4. Terkadang siap berbuat maksiat kepada orang tua (durhaka), demi mendahulukan DAI.
5. Kehilangan jati diri (tidak pede, minder).
6. Melahirkan generasi yang rapuh, yang didominasi emosional dan sensitifitas pribadi.
7. Menjadikan emosi atau perasaan individu sebagai hukum dalam memutuskan.
8. Tidak mau menerima upaya penegakan agama yang jauh dari jangkauan DAInya.
9. Riya dan tidak mau beramal kecuali di bawah pengawasan DAInya.
10. Tidak mau menasehati DAI ketika berbuat salah.
11. Terjerumus dalam kesembronoan, ketergesagesaan dan kecerobohan yang merupakan cerminan DAInya.
Obat Mujarab Menghindari Figuritas
1. Pada tahun-tahun pertama tarbiyyah, hendaknya diberikan perhatian tentang makna dan hakikat bergantung kepada Allah Subhanahu Wata'ala serta makna hakiki tentang kecintaan kepada Nya.
2. Memberikan perhatian tentang pokok-pokok keimanan dan makna syirik dalam kecintaan kepada selain Allah Subhanahu Wata'ala.
3. Kejujuran dari tiap individu yang terfitnah masalah ini, dan jangan menunda-nundanya hingga parah.
4. Kewaspadaan seorang DAI terhadap masalah tersebut dengan memberikan peringatan tentang bahayanya kepada setiap peserta didik secara rutin.
5. Ketergantungan pribadi hanya kepada Allah Subhanahu Wata'ala dan kepada manhaj-Nya.
6. Mendiskusikan masalah-masalah tersebut di forum-forum terbuka yang melibatkan seluruh peserta didik.
7. Mengikat para pencari ilmu (peserta didik) dengan qudwah (suri teladan) utama mereka, yaitu Rasululah Salallahu Alaihi Wasalam.
8. Memberikan perhatian terhadap tarbiyyah dzatiyyah (pembinaan jati diri).
9. Memberikan perhatian terhadap keikhlasan dan amal perbuatan yang tidak diperuntukkan melainkan hanya kepada Allah Subhanahu Wata'ala.
Barangsiapa yang amal perbuatannya diperuntukkan hanya kepada Allah Subhanahu Wata'ala, maka amal tersebut akan langgeng dan kekal. Sebaliknya, barangsiapa amal perbuatannya diperuntukan kepada selain-Nya, maka amal itu akan hilang tiada berbekas, bahkan hanya akan berujung kepada penyesalan yang tiada guna.
10. Menyebarkan semangat beramal dan beretos kerja hanya untuk agama, di manapun dan kapanpun kita berada.
Kemudian,…ketahuilah!!
1. Ketahuilah, bahwa salah satu bentuk kesalahan dalam tarbiyyah adalah ketergantungan pada figuritas dengan tidak memperdulikan sisi manhaj.
2. Ketahuilah, bahwa al-Qur’an yang mulia telah menetapkan sebuah hakikat, yaitu bergantung hanya kepada manhaj dan membuang jauh-jauh berbagai ragam bentuk figuritas.
Demikian halnya dengan manhaj Nabi Salallahu Alaihi Wasalam dan manhaj para penyeru di jalan Allah Subhanahu Wata'ala, semuanya berjalan di atas bashirah.
3. Ketahuilah, bahwa ujung kehidupan manusia adalah menuju kefanaan (kematian), sedangkan akhir sebuah aqidah adalah menuju kekekalan dan keabadian.
4. Ketahuilah, bahwa wujud sebuah dakwah lebih utama dan lebih kekal dari pada wujud seorang da’i.
5. Ketahuilah, bahwa manhaj Allah Subhanahu Wata'ala adalah manhaj yang berdiri sendiri, terlepas dan tidak terkait dengan orang-orang yang membawa dan menyampaikannya.
6. Ketahuilah, bahwa seluruh sumber daya yang dimiliki wajib dibangun di atas dasar hubungan yang kuat dengan Allah Subhanahu Wata'ala.
7. Ketahuilah, bahwa sangat mungkin bagi seorang manusia untuk berubah, akan tetapi Allah Subhanahu Wata'ala adalah Dzat Yang Maha Hidup, yang tidak akan pernah mati, Dia-lah yang sanggup untuk merubah sesuatu dan Dia sendiri tidak akan pernah berubah.